Bandar Lampung, M-TJEK NEWS, – Suasana di Kota Bandar Lampung mendadak tegang setelah kedatangan empat bus yang membawa sekitar 200 orang dari Ambon ke Universitas Malahayati pada 2 Maret 2025. Kehadiran mereka memicu reaksi keras dari warga setempat, yang menilai hal ini sebagai ancaman terhadap ketertiban serta nilai-nilai budaya masyarakat Lampung.
Aktivis sekaligus tokoh muda Lampung, Edi Samsuri, S.Fil., S.H., menyampaikan keresahannya terhadap situasi ini.
“Cukup di Jakarta, tidak perlu ke Lampung!” tegasnya, menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap potensi konflik akibat kedatangan massa dalam jumlah besar.
Menurut informasi yang beredar, ratusan orang tersebut diduga dikirim oleh Rusli Bintang, pemilik Universitas dan Rumah Sakit Malahayati, yang tengah bersengketa dengan istri pertama serta anak-anaknya. Mereka disebut-sebut datang dengan tujuan tertentu terkait penguasaan kampus Universitas Malahayati. Situasi ini semakin memperkeruh keadaan dan memicu kemarahan warga, terutama masyarakat adat Lampung, yang merasa nilai-nilai Pi’il Pesenggiri—prinsip kehormatan dan harga diri dalam budaya Lampung—telah dilecehkan.
“Ini bukan sekadar persoalan kampus, ini adalah bentuk penjajahan terhadap tanah Lampung oleh pihak luar. Lampung ini ada pemiliknya, yakni Suku Lampung Jurai Sai Batin dan Pepadun!” ujar Edi, yang juga berprofesi sebagai advokat.
Menanggapi situasi ini, organisasi masyarakat Laskar Lampung Indonesia (LLI) segera mengambil langkah dengan mengirimkan Sekjen DPP LLI Panji Padang Ratu, S.H., serta Ketua LLI Kota Bandar Lampung Destra Yudha, S.H., M.Si., untuk memantau perkembangan di Universitas Malahayati. Ketua Umum LLI, Ir. H. Nerozely Koenang, menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak luar yang membawa praktik premanisme ke tanah Lampung.
“Apa pun konfliknya, tidak boleh ada pihak luar, terutama kelompok preman, yang masuk dan mengancam ketenteraman di Lampung!” tegas Panglima Nero Koenang.
Masyarakat Lampung pun berharap Kapolda Lampung segera mengambil tindakan tegas sebelum situasi berkembang menjadi konflik yang lebih besar.
“Kami tidak ingin Lampung menjadi medan pertikaian akibat ulah pihak luar. Kami mendesak aparat bertindak sebelum situasi semakin tidak terkendali,” tambahnya.
Sementara itu, organisasi Pendekar Banten, yang dipimpin oleh Hengki Malonda, disebut telah bersiap siaga untuk bergabung dengan Laskar Lampung Indonesia, menunggu instruksi lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa jika tidak segera ditangani, situasi berpotensi semakin memanas.
Ketegangan ini menjadi pengingat bagi semua pihak untuk menghormati adat dan budaya setempat serta menghindari tindakan yang dapat memicu konflik berkepanjangan. Lampung adalah tanah yang menjunjung nilai luhur, di mana masyarakat adat dan para pendatang hidup berdampingan secara rukun. Sebagai provinsi yang dikenal sebagai “Indonesia Mini” karena keberagaman etnis dan budayanya, ketenteraman serta persatuan harus senantiasa dijaga.