Bandar Lampung, M-TJEK NEWS, Gelanggang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bandar Lampung 2024, diikuti oleh dua Cakada Perempuan.
Diketahui Eva Dwiana berpasangan dengan Dedy Amarullah, dan diusung oleh 9 Partai, yaitu Demokrat, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, Partai Nasdem, PKB, PAN, PSI, dan PPP.
Pasangan ini resmi mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada ke KPU Bandar Lampung pada Rabu (28/8/2024) lalu.
Sementara penantang sang petahana, yaitu pasangan Reihana-Aryodhia Febriansyah dan didukung oleh PDI Perjuangan serta tiga partai non perlemen, diantaranya Perindo, Gelora, dan Ummat.
Pasangan ini resmi mendaftar di KPU Kota Bandar Lampung, pada Kamis (29/8/2024) lalu.
Tidak adanya Cakada laki-laki dalam kontestasi Pilkada Kota Bandar Lampung 2024, hingga kini belum mendapat komentar atau sorotan dari para Alim Ulama Kota Bandar Lampung.
Padahal, ada 790.125 Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kota Bandar Lampung akan memberikan hak pilihnya pada 27 November 2024 mendatang, dan dipastikan akan dipimpin oleh salah satu dari kedua perempuan yang akan memenangkan pertarungan Pilkada Kota Bandar Lampung ini.
Bagaimana pendapat Ulama Kota Bandar Lampung dengan adanya dua Calon Perempuan yang akan memperebutkan tahta Walikota Bandar Lampung?. Yang hingga hari ini belum juga ada Ulama Kota Bandar Lampung yang menanggapi fenomena ini.
Melansir tulisan dari website NU Online, dengan judul Kepemimpinan Perempuan dalam Kajian Hadits.
Dalam artikel itu ditulis, salah satu isu penting dalam kontestasi politik di berbagai negara, tak terkecuali negeri dengan mayoritas penduduk muslim, adalah mengenai kepemimpinan perempuan.
Dalam realitas sehari-hari maupun kondisi politik terkini, sudah mulai banyak perempuan dengan jabatan strategis tertentu, baik di komunitas, organisasi, maupun pemerintahan, mulai skala daerah hingga nasional.
Sayangnya, polemik soal kepemimpinan perempuan tidak sesederhana itu. Meskipun dalam kerangka demokrasi perempuan dapat dan boleh diangkat menjadi pemimpin, nyatanya dalam mengupayakan hal itu banyak sekali hambatan struktural bahkan teologis yang menghambat perempuan menjadi pemimpin.
Apa yang disebut pemimpin disini sangat luas : mulai jabatan pemerintahan atau kedinasan, komunitas agama, sampai organisasi kemasyarakatan.
Dalam konteks ajaran Islam, hadits mengenai kepemimpinan perempuan sering disebut dan didiskusikan sebagai salah satu isu yang menghambat perempuan di masyarakat. Salah satu hadits yang sering disebut adalah :
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
Artinya : “ Dari Utsman bin Haitsam dari Auf dari Hasan dari Abi Bakrah berkata: ‘Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar dari Rasulullah SAW pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita. (HR Al-Bukhari).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari salah satunya dalam Kitabul Fitan, bagian pembahasan tentang konflik atau fitnah. Selain diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, hadits ini juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan At-Tirmidzi, Musnad At-Thabarani, juga Sunan An-Nasai.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Utsman bin Haitsam, yang bersambung sampai sahabat Abu Bakrah yang bernama asli Nafi’ bin Al-Harits.
Ada juga jalur periwayatan yang dimuat oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Muhammad bin Al-Mutsanna. Untuk redaksi matan hadits seperti di atas, mayoritas merujuk pada Abu Bakrah.
Secara status haditsnya sendiri, para ulama menyepakati bahwa ia berkualitas shahih. Nah, salah satu konsekuensi hadits yang dihukumi shahih adalah ia dapat menjadi dasar hukum atau hujjah dalam syariat. Dari pernyataan Nabi “…Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita…” inilah debat panjang soal kepemimpinan perempuan terjadi.
Kita mulai dengan komentar para ulama, khususnya ahli hadits dan ahli fiqih tentang makna riwayat Abu Bakrah tersebut.
Para muhadditsin sudah menyepakati keshahihannya, salah satunya karena telah memenuhi standar Imam Al-Bukhari. Imam At-Tirmidzi juga menyebutnya hadits hasan shahih.
Asbabul wurud atau sebab dituturkannya hadits tersebut oleh Abu Bakrah adalah ketika konflik politik meruncing antara kubu Sayyidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib, yang menjadi pemicu Perang Jamal pada tahun 36 H.
Posisi politik Abu Bakrah sendiri disebutkan tidak berpihak pada kubu Sayyidah Aisyah, dan mendasarkan sikapnya pada pernyataan Nabi di atas.
Para pensyarah hadits menjelaskan peristiwa apa yang menyebabkan Nabi berujar demikian.
Alkisah, negeri Kisra, salah satu bagian dari negeri-negeri Persia, memiliki seorang raja yang terbunuh, buah dari konflik internal kerajaan.
Rupanya, pembunuh sang raja adalah anak lelakinya sendiri. Intrik demi intrik terjadi dalam kerajaan, dan singkat cerita diputuskan untuk mengangkat raja dari anak perempuan sang Kisra.
Sayangnya, anak perempuan Kisra ini kurang sukses memimpin kerajaan. Banyak diskusi tentang sebabnya, ada yang menyebut inkompetensi, ada juga yang menyebutkan bahwa kemunduran kerajaan itu adalah akibat Kisra menyobek surat dakwah dari Nabi, maka ia kualat dengan terjadinya intrik dalam istana, serta ‘terpaksa’ anak perempuannya yang menjadi raja dan doa Nabi mengenai kemunduran kerajaan pun terkabulkan.
Demikian kurang lebih keterangan dalam Irsyadus Sari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Imam Al-Qasthalani dan Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi karya Imam Al-Mubarakfuri.
Mengenai diskusinya dalam syariat, Syekh Muhammad Al-Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari mengutip pendapat jumhur ulama tentang istinbath hadits tersebut : Perempuan tidak dapat menjadi sebagai qadli atau hakim, meski ada pendapat minor di kalangan mazhab Malikiyah yang memperbolehkannya.
Komentar serupa juga dapat ditemukan dalam syarah Shahih Al-Bukhari lainnya seperti Irsyadus Sari karya Imam Al-Qasthalani maupun Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Tidak hanya tidak boleh menjadi qadhi, dalam urusan persaksian dan imamah (kepemimpinan) pun ia juga dilarang.
Mengapa jumhur ulama berpendapat demikian? Salah satu argumen disajikan oleh Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir tentang hadits tersebut.
Disebutkan bahwa suatu kaum atau golongan tidak akan sejahtera jika dipimpin perempuan karena lemahnya pemikiran perempuan.
Selain itu, berdasarkan keterangan Al-Munawi, perempuan adalah aurat. Merupakan suatu pantangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin karena pemimpin perlu banyak tampak di masyarakat.
Lebih lanjut, dalam Subulus Salam Syarh Bulughul Maram karya Imam As-Shan’ani, disertakan juga komentar bahwa perempuan telah ditetapkan syariat untuk menjadi pemimpin di rumahnya.
Hal ini meniscayakan bahwa urusan domestik kerumahtanggaan adalah tanggung jawab perempuan, dan disanalah ia dapat memimpin.
Dengan beragam catatan di atas, sementara dapat kita simpulkan bahwa pandangan ulama klasik yang dominan adalah tidak tepatnya mengangkat perempuan sebagai pemimpin, dalam hal ini adalah terkait persaksian, qadhi, serta imamah, kepemimpinan pemerintahan.
Disebabkan muatan hadits ini, ulama kontemporer mulai mengkaji dengan sudut pandang lainnya. Muatan hadits Abu Bakrah tentang perempuan tak layak menjadi pemimpin ini tak sejalan dengan semangat Surat At-Taubah ayat 71 :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah perbuatan yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (Surat At-Taubah ayat 71).
Selain bertentangan dengan Al-Quran, sebagian ulama kontemporer meninjau bahwa kasus hadits tersebut bersifat khusus, hanya dalam konteks cerita raja Kisra itu.
Dengan demikian dilain masa, perempuan tetap bisa menjadi pemimpin dengan prasyarat tidak melakukan hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran negeri Kisra, yaitu tidak adanya kompetensi dan kecakapan.
Pendekatan sesuai konteks cerita yang demikian sesuai kaidah “Al-‘ibrah bi khushusis sabab, la bi umumil lafzhi”.
Meskipun pernyataan Nabi Muhammad SAW merujuk pada perempuan secara umum, namun ia hanya dimaksudkan untuk kisah negeri Kisra itu. Nah, terkait tawaran kaidah pemahaman ini, ulama berbeda pendapat.
Bukti sejarah bahwa banyak raja maupun pemuka agama perempuan, tak terkecuali dalam sejarah peradaban Islam.
Dalam Al-Quran sendiri, dikisahkan tentang ratu dari negeri Saba’ yang digambarkan memimpin kerajaan besar dan memiliki kebijaksanaan.
Sebagaimana juga asbabul wurud hadits Abu Bakrah tadi, latar belakangnya adalah kepemimpinan Aisyah.
Ulama hadits sepakat bahwa Aisyah adalah ulama perempuan yang banyak meriwayatkan hadits dan pendapatnya dirujuk kaum pria.
Meski di masa selanjutnya secara jumlah pemimpin atau pemuka agama perempuan sangat minor sekali dibanding penguasa, ulama, atau intelektual pria, sejarah tersebut menunjukkan perempuan boleh dan mampu menjadi pemimpin, baik itu dalam hal agama maupun pemerintahan.
Sebagai jalan tengah, ditawarkan pemahaman bahwa kepemimpinan perempuan dapat dilakukan dalam urusan politik, organisasi maupun pemerintahan.
Tidak ada pembedaan baik pria maupun wanita. Kelaikan menjadi pemimpin bukan sebab jenis kelamin, namun kompetensi dan kecakapan mereka.
Namun dalam kasus perwalian, imam shalat, juga keluarga, perempuan tidak dapat memimpin karena ia adalah sesuatu yang telah ditetapkan syariat.
Jalan tengah tersebut tentu tidak final bagi sebagian pihak. Bagaimana dengan fungsi perempuan kepala keluarga atau single parent? Benarkah dalam pembahasan tentang kepemimpinan tidak ada stigma dan stereotip yang ditimpakan pada lelaki maupun perempuan? Diskusi ini jelas lebih rumit dan panjang dari sekadar diskusi fiqih dan akidah.
Kepemimpinan perempuan di ranah publik, kiranya adalah gambaran kondisi sosial dan penerimaan masyarakat terhadap posisi dan peranan perempuan.
Terkait dengan Pilkada Kota Bandar Lampung tahun 2024 ini dengan adanya dua Calon Kepala Daerah perempuan, tanpa Calon Kepala Daerah Laki Laki, bagaimana pendapat para Ulama’ Kota Bandar Lampung?
Menarik untuk ditunggu pendapat dari Ulama Kota Bandar Lampung, sebab mayoritas warga Kota Bandar Lampung merupakan umat muslim. (Redaksi)